Selasa, 5 Jun 2012


Fitnah Dan Suara Wanita

FITNAH DAN SUARA WANITA
PERTANYAAN
Sebahagian orang berperasangka buruk terhadap wanita. Mereka menganggap wanita sebagai sumber segala bencana dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata, “Periksalah kaum wanita!” Bahkan ada pula yang berkomentar, “Wanita merupakan sebab terjadinya penderitaan manusia sejak zaman bapa manusia (Adam) hingga sekarang, kerana wanitalah yang mendorong Adam untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari syurga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan atas dirinya dan diri kita sekarang.”
Anehnya, mereka juga mengemukakan dalil-dalil agama untuk menguatkan pendapatnya itu, yang kadang-kadang tidak sahih, dan adakalanya – meskipun sahih – mereka fahami secara tidak benar, seperti terhadap hadits-hadits yang berisi peringatan terhadap fitnah wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:
“Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi lelaki daripada (fitnah) perempuan.”
Apakah maksud hadits tersebut dan hadits-hadits lain yang seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang dibawakan oleh para penceramah dan khatib, sehingga dijadikan alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan kaum wanita dan oleh sebahagian lagi untuk menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta (palsu) kerana bersikap keras terhadap wanita dan kadang-kadang bersikap zalim.
Mereka juga mengatakan, “Sesungguhnya suara wanita – sebagaimana wajahnya – adalah aurat. Wanita dikurung dalam rumah sampai meninggal dunia.”
Kami yakin bahwa tidak ada agama seperti Islam, yang menyedarkan kaum wanita, melindunginya, memuliakannya, dan memberikan hak-hak kepadanya. Namun, kami tidak memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Dr miliki. Kerana itu, kami mengharapkan Dr dapat menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits ini kepada orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura tidak mengertinya.
Semoga Allah menambah petunjuk dan taufik-Nya untuk Dr dan menebar manfaat ilmu-Nya melalui Dr. Amin.
JAWAPAN
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak perempuan.
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai isteri. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai ibu. Dan Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memelihara serta melindunginya sebagai anggota masyarakat.
Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah sahihah, yang mengatakan bahawa wanita (Hawa) yang menjadi penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari syurga dan menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama yang dimintai pertanggungjawaban (lihat kembali surat Thaha: 115-122).
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal, syari’at Islam sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan, sebagai isteri, atau sebagai ibu.
Yang lebih memperihatinkan, sikap merendahkan wanita tersebut sering disampaikan dengan mengatas namakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu. Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan pendapatnya dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian langgarlah (selisihlah).”
Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu’). Tidak ada nilainya sama sekali serta tidak ada ditinjau dari segi ilmu (hadits).
Yang benar, Nabi saw. pernah bermusyawarah dengan istrinya, Ummu Salamah, dalam satu urusan penting mengenai umat. Lalu Ummu Salamah mengemukakan pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan rela serta sedar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan dan berkah.
Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering menisbatkan kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa “Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala kejelekan itu berpangkal dari wanita.”
Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia bukan dari logik Islam, dan bukan dari nash.
Bagaimana boleh terjadi diskriminasi seperti itu, sedangkan Al-Qur’an selalu mensejajarkan muslim dengan muslimah, wanita beriman dengan lelaki beriman, wanita yang solehah dengan lelaki yang soleh, dan seterusnya sebagaimana yang disebut didalam Kitab Allah Ta’ala.
Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, kerana tidak boleh wanita berkata-kata kepada lelaki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat.
Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahawa Al-Qur’an memperbolehkan lelaki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw. dari balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu mendapatkan tugasan dan tanggungjawap yang lebih berat daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka? Namun demikian, Allah berfirman:
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir …”(al-Ahzab: 53)
Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum mukmin: istri-istri Nabi). Mereka boleh memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang ingin mengambil hadits mereka.
Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi saw. dihadapan kaum lelaki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika Umar sedang berkhutbah di atas mimbar. Atas sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui kesalahannya sendiri seraya berkata, “Semua orang (boleh) lebih mengerti daripada Umar.”
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang sudah tua (Nabi Syu’aib) yang berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur’an:
“… Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami …” (al-Qashash: 25)
Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada mereka:
“… Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapa kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.” (al-Qashash: 23)
Selanjutnya, Al-Qur’an juga menceritakan kepada kita percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s. dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.
Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan (melembutkan suara) untuk menarik perhatian lelaki (yang bukan muhrim), yang  di istilahkan oleh Al-Qur’an dengan “al-khudhu bil-qaul” (tunduk/lunak/lembut/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang boleh membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya “berpenyakit.” Namun, dengan ini bukan bererti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap lelaki. Perhatikan dihujung ayat dari surat di atas:
“Dan ucapkanlah perkataan yang baik”
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Nabi saw. bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi lelaki daripada (fitnah) wanita.”
Mereka telah salah faham tentang hadith tersebut. Perkataan “fitnah” dalam hadits diatas mereka telah ertikan dengan “wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit, kelaparan, dan ketakutan.” Mereka melupakan suatu masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah. Allah berfirman:
“… Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ….” (al-Anbiya: 35)
Al-Qur’an juga menyebutkan harta dan anak-anak – yang merupakan kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya – sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)…” (at-Taghabun: 15)
“Dan ketahuilah bahawa harta benda kamu dan anak-anak kamu itu hanyalah menjadi ujian …” (al-Anfal: 28)
Fitnah harta dan anak-anak itu ialah,kadang-kadang harta atau anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban kepada Tuhannya dan melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al-Munaafiqun: 9)
Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah oleh wanita, terfitnah oleh istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari kepentingan-kepentingan umum. Mengenai hal ini Al-Qur’an memperingatkan:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka …” (at-Taghabun: 14)
Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum lelaki. Ini merupakan bahaya yang sangat besar yang dikhawatirkan dapat menghancurkan akhlak, mengotori harga diri,serta kerosakan masyarakat Islam.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita disini seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap kenikmatan harta, keseronokan dan kesenangan hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:
“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu berlumba-lumba memperebutkannya, lantas kamu binasa kerananya sebagaimana mereka dahulu binasa kerananya.” (Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)
Dari hadits ini tidak bererti bahwa Rasulullah s.a.w  hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga tidak bererti bahawa beliau tidak menyukai umatnya mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena beliau sendiri pernah bersabda:
“Bagus harta yang baik bagi orang yang baik” (HR. Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dengan hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan lampu merah bagi peribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpelecet dan terjatuh ke dalam jurang tanpa mereka sadari.
Fatwa Dr. Yusuf Qardhawi

Tiada ulasan:

Catat Ulasan